Madrasah Pertama Bagi Anak

Pendidikan dan pembelajaran adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Melalui pendidikan, seseorang akan mendapatkan pengetahuan baru yang bisa jadi akan bermanfaat bagi dirinya dalam kehidupan. Melalui pendidikan pula seseorang dapat membedakan sesuatu, mulai dari yang receh sampai yang bernilai dan tak ternilai. Begitupula dengan pembelajaran.


Pembelajaran adalah salah satu aktivitas yang ada dalam pendidikan. Jika pendidikan mencakup ranah yang luas, maka pembelajaran adalah salah satu ranah yang ada dalam pendidikan itu sendiri. Pembelajaran bersifat lebih spesifik, misal kemampuan memahami materi, kompetensi spiritual, sikap sosial dan kepedulian yang tinggi, welas asih, rela berbagi, peduli dan lain sebagainya. Semuanya dipelajari dalam aktivitas pembelajaran melalui kegiatan pembiasaan dalam kehidupan.


Pendidikan dan pembelajaran bagi anak sejatinya telah dimulai sejak seorang anak itu berada dalam rahim ibunya. Al-Qur’an surat ke 38 ayat 72 menyebutkan bahwa Allah menitipkan ruh ke dalam rahim seorang ibu saat kandungan mencapai usia 120 hari. Saat itu pula pendidikan seorang anak dimulai, dari rahim itu pula seorang anak mulai mendapatkan pendidikan dan pembelajaran, melalui aktivitas seorang ibu kemudian rahim yang dikandungnya mendapatkan materi kehidupan yang kelak akan sangat berguna bagi dirinya setelah ia lahir ke dunia, berinteraksi dengan sesama dan kemudian menjadi dan mengabdi kepada-Nya.


Keluarga dalam hal ini ibu, adalah madrasah pertama bagi anak. Melalui ibu, seorang anak mendapatkan banyak sekali pengetahuan baru yang sebelumnya sama sekali tak diketahuinya. Bagaimana pendidikan dan pembelajaran yang diberikan oleh seorang ibu kepada anaknya, maka seperti itulah kelak anak itu akan menjadi.


Peran ibu dalam pendidikan dan pembelajaran bagi anak sangatlah besar. Interaksi ibu dengan anak selama dalam kandungan, merupakan interaksi awal pendidikan dan pembelajaran bagi calon anak. Maka tak heran jika disebutkan bahwa banyak sekali doa-doa yang dapat dipanjatkan dan dibaca oleh ibu, agar kelak anak yang dilahirkan menjadi anak yang dapat membanggakan orang tua, agama dan bumi nusantara tercinta.

Dalam salah satu hadits, Rasulullah pernah ditanya oleh seorang sahabat siapakah orang yang pertama kali kita harus berbakti kepadanya, Rasulullah menyebut nama ibu sebanyak tiga kali kemudian diikuti ayah. Cerita ini memberikan pengetahuan dan membuka cakrawala kepada semua kita, bahwa betapapun seperti apa ibu kita, kepadanya wajib kita berbakti, bahwa ibu adalah orang pertama yang kepadanya kita wajib patuh dan hormat serta taat, melalui ibu pula kita kemudian menjadi sesuatu, lahir kedunia dengan pertaruhan nyawa, bahkan ibu rela pergi dari dunia untuk selamanya asal anak yang dikandungnya selamat dan dapat menikmati kehidupan nyata.


Keluarga dalam hal ini ibu, adalah sekolah yang dihadirkan Allah kepada anak. Melalui didikan seorang ibu, anak kemudian mengenal angka, huruf dan bahkan mengenal Tuhannya. Pendidikan dan pembelajaran yang diberikan oleh ibu kepada anak akan membekas sepanjang hayat, hingga anak menjadi manusia, dewasa dan berinteraksi dengan sesama.


Oleh karenanya, amat besar tanggung jawab seorang ibu, disamping ia menjadi ibu bagi seorang anak, ia juga harus menjadi guru baginya, mengajarinya banyak hal, memberikannya pengetahuan baru dan pengetauan baik, mendidik anak agar kelak ia menjadi insan kamil seperti yang diharapkan kebanyakan kita.

Maka, pendidikan yang baik bagi seorang anak dimulai dari keluarganya. Jika keluarga baik, maka anak pun akan menjadi baik, begitu juga sebaliknya. Pendidikan dan pembelajaran yang baik yang diberikan oleh keluarga kepada anaknya, akan melahirkan sifat, tabiat dan perangai anak yang baik pula. Jika kebutuhan akan pendidikan yang baik kemudian ditemukan dan didapatkan dalam keluarga, maka dipastikan anak akan terpenuhi asupan pendidikannya sehingga kelak ia akan menjadi manusia yang berguna bagi semua.

Bakti Kini untuk Masa Depan

Mari kita perhatikan kisah hikmah berikut.

Uwais Al-Qarni merupakan seorang pemuda yang tidak terkenal, miskin, dan memiliki penyakit kulit. Tak ada orang yang mengenalnya bahkan namanya pun tak pernah dikenal. Namun ia merupakan pemuda yang pernah disebut oleh Rasulullah Saw sebagai pemuda yang sangat dicintai oleh Allah dan terkenal di langit.


Sebab kecintaan Allah kepadanya yaitu dikarenakan ia patuh dan menghormati ibunya yang sakit lumpuh. Suatu waktu, Uwais meminta izin kepada sang ibu untuk pergi ke Madinah dalam rangka untuk melepaskan kerinduannnya kepada Rasulullah. Sang ibu memberinya izin untuk pergi, namun dengan syarat agar setelah berjumpa Rasulullah ia cepat pulang kembali karena ibunya yang sakit-sakitan.


Setelah melakukan perjalanan yang sangat panjang, Uwais tidak mendapati Rasulullah di rumahnya karena sedang memimpin peperangan. Meski kerindunya amat besar terhadap Rasulullah, Uwais lekas pulang demi ibunya. Ia hanya menitip pesan kepada Siti Aisyah ra.


Kemudian pada kesempatan yang lain, sang ibu meminta Uwais untuk mengantarkannya pergi haji. Uwais tidak mau menolak walaupun mereka merupakan keluarga yang miskin, dengan sekuat tenaga ia menggendong ibunya yang lumpuh itu untuk berziarah ke Baitullah.


Meski belum pernah berjumpa dengan Nabi, Rasulullah seperti sudah mengenal betul pemuda miskin itu. Ia memuji Uwais dengan mengatakan kepada para Sahabat yang lain, β€œSuatu ketika, apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah doa dan istighfarnya. Dia adalah penghuni langit, bukan orang bumi,” (HR. Ahmad).


Karena bakti yang tulus dan ikhlas kepada ibundanya, membuat nama Uwais Al-Qarni terkenal di langit, meski di bumi ia bukan siapa-siapa. (dikutip dari laman infakyatim.id). Kisah mengharukan ini amat terkenal dan banyak diceritakan oleh para alim dalam rangka mengagungkan seorang ibu. Bagaimana pengabdian seorang anak pada ibunya, tercermin apik dari kisah singkat perjalanan Uwais Al-Qarni. Lalu, bagaimana pendidikan yang diterima Uwais hingga ia rela berjalan dari tempat tinggalnya menuju Makkah untuk mengantar ibunya berhaji? Sehingga kemudian Rasulullah menyebutkan sebagai penghuni langit, lalu para sabahat diperintahkannya untuk meminta doa dan istighfar kepadanya? Pendidikan yang baik dalam keluarga akan melahirkan generasi emas masa depan, bukan hanya keluarga yang bangga bahkan penduduk bumi pun ikut merasakan kebahagiannya.


Berkaca dan mengambil pelajaran dari kisah Uwais Al-Qarni, maka ketika kita semua sebagai orang tua, menanam kini, akan memetic hasilnya di masa yang akan datang. Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk menanam, memberikan dan mengabadikan nilai-nilai kebaikan kepada anak, sehingga kelak ia menjadi manusia baik yang peduli kepada sesama. Salah satunya adalah bersyukur.


Bersyukur adalam menanam. Apa yang kita tanam saat ini, maka kelak akan kita petik di masa yang akan datang. Tak perlu menunggu mendapatkan nikmat dan karunia kemudian kita bersyukur kepada-Nya, namun bersykurlah terhadap apapun yang kita terima kini, apapun dan bagaimanapun ia, anak kita, keluarga kita, masa depan kita, maka merekalah karunia dari-Nya yang tak ternilai harganya, yang wajib bagi kita mensyukurinya, kini dan hingga nanti. Bersukur adalah menanam.

Pesan Cinta dalam Keluarga

Allah melalui ayat-ayat-Nya memerintahkan kepada semua kita untuk menjaga diri dan jeluarga dari panasnya api neraka. Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. Demikian pesan-Nya kepada semua kita.


Pesan ini mengandung banyak hal, memberikan banyak arti, berisi jutaan wasiat yang patut dan wajib bagi kita mewujdukan dan mengimplementasikannya dalam kehidupan. Pertama, perintah Allah kepada semua kita untuk menjaga diri sebelum menjaga orang lain. Hal ini juga berlaku kepada semua kita agar mengoreksi diri sebelum menegur orang lain. Nilai sederhana ini kadang seringkali kita abaikan begitu saja. Kita cenderung lebih suka mengkritik daripada dikritik, menyalahkan daripada memberikan solusi, menghukumi daripada membimbing, memutuskan sebelum menganalisis, dan lain sebagainya. Maka melalui pesan ini, Allah kembali mengingatkan kepada kita bahwa menjaga (juga mengingatkan) diri harus dilakukan sebelum menjaga (mengingatkan) orang lain, termasuk dalam hal ini adalah keluarga.


Kedua, keluarga adalah rumah bagi semua kita. Kepadanya kita kembali, di dalamnya kita berinteraksi, bersamanya kita melepas Lelah dan penat setelah seharian beraktivitas. Maka menjaga rumah tempat kita kembali, bukan sekadar menjadi kewajiban bagi satu atau dua penghuninya namun bagi semuanya. Menjaga dalam arti yang luas adalah menghadirkan suasana damai, tentram, nyaman dan menyenangkan dalam keluarga. Jika semua telah terjaga, dapat terwujud, maka bukan tak mungkin penghuninya akan terhindar dari api neraka.


Ketiga, kerjasama. Pesan cinta yang disampaikan Allah melalui Al-Qur’an tentang kewajiban menjaga diri dan keluarga adalah pelajaran berharga bagaimana kita harus mampu bekerjasama dengan baik dalam keluarga. Bukan hanya menjaga diri, namun juga saling mengingatkan dan saling menasihati, menitipkan pesan kebaikan kepada sesama anggota keluarga, agar semua terhindar dan terlindungi dari bahaya dan panasnya api neraka.

Akhirnya, keluarga adalah tempat kita kembali. Dalam keluarga kita akan menemukan kedamaian, bersama keluarga kita akan melahirkan masa depan indah, dengan keluarga kita akan menemukan cinta, keluarga adalah segalanya, keluarga adalah madrasah bagi kita semua. Melahirkan generasi yang baik, dimulai dari pendidikan dan pembelajaran yang baik dalam keluarga.

Pandai Saja Tak Cukup

Malam itu kami baru saja dipertemukan dalam satu kegiatan daring, lalu disatukan dalam grup percakapan. Disatukan dalam ikatan dan kesamaan nasib, sama-sama dengan memperjuangkan sesuatu, dengan niat dan tujuan yang sama, dengan visi dan misi yang sama, dengan kekuatan dan semangat yang beragam dan berbeda.


Setelah saling menyapa via aplikasi percakapan, kamipun memutuskan untuk bertemu, agar tidak hanya satu visi dan misi, namun juga semakin mempererat tali silaturrahmi antar sesama, menjalin persahabatan dan persaudaraan, dan bahkan membangun kekompakan untuk mencapai satu tujuan yang sama. Kemudian diputuskanlah kami bertemu dalam satu tempat, dengan satu harapan pertemuan nanti akan menjadikan kami semua yang belum pernah bersua langsung, semakin menjadi satu barisan kokoh dalam satu komando semangat mencapai garis finish.


Pertemuan berlangsung gayeng, kami saling berkenalan dan bercerita, ada yang mengisahkan bagaimana ia berjuang dengan susah payah hingga sampai pada titik saat ini, harus berburu sinyal internet, listrik yang tidak mendukung, kemampuan teknologi yang tidak memadai serta aneka ragam cerita cerita, yang siang itu menjadikan kami semua semakin karib dalam suasana kekeluargaan.


Bukan hanya perkara teknis, namun juga non teknis. Ada pula yang diuji dengan sakit, sehingga harus berjuang untuk sehat, sembuh dan kembali beraktivias seperti sedia kala. Semua menjadi cerita bersambung dan saling bersahutan, saling mendukung, saling mengingatkan dan memberi semangat, siapa yang bisa melakukan apa, maka dialah yang harus membantu. Cerita lainnya dari pertemuan siang itu adalah kegagalan berulang di kegiatan yang sama, sehingga harus berjuang lebih keras lagi, belajar lebih jauh dan lebih banyak lagi, serta evaluasi dan koreksi diri.


Apapun dan bagaimanapun pencapaian kita saat ini, semua tak lepas dari campur tangan dan kuasa-Nya. Tak pantas bagi kita membusungkan dada, berkoar dengan nada tinggi apalagi mengunggulkan diri terhadap sesama makhluk. Di atas langit masih ada langit, maka pencapaian yang kita raih saat ini adalah buah perjuangan dan ikhtiar serta doa, bukan semata keahlian dan kompetensi semata.


Kita tentu tidak asing dengan pasangan bulu tangkis Indonesia, Muhammad Ahsan dan Hendra Setiawan. Ganda putra terbaik ini dijuluki The Daddies. Di usia yang sudah tak muda lagi, mereka berdua memiliki semangat juang yang tinggi, sama seperti pebulu tangkis lainnya, yang terus semangat berjuang, membawa nama bangsa ke tingkat dunia.


Prestasi mereka berdua pun luar biasa, ragam perlombaan nasional dan internasional telah dipersembahkan, aneka medali telah diraih dan prestasi gemilang telah diukir, semua didedikasikan untuk bangsa tercinta, Indonesia. Lalu apa yang bisa kita pelajari dari The Daddies?


Prestasi yang tinggi tak lantas menjadikan Muhammad Ahsan dan Hendra Setiawan, jumawa. Sebaliknya, mereka berdua dikenal sebagai pebulu tangkis dengan sportifitas terbaik, attitude yang mereka miliki menjadikan lawan sungkan dan bahkan menunduk sebagai tanda pernghormatan. Nilai inilah yang seharusnya kini kita tanamkan dalam diri, sejak saat ini dan sejak dini, kepada anak-anak kita yang kelak akan menjadi penerus dan pejuang masa depan bangsa.


Prestasi yang tinggi sejatinya harus diikuti dengan attitude yang baik. Jika kita mengingat filosofi padi, yang sejak kecil kita selalu diingatkan oleh para pendahulu tentangnya, dan bahkan kita diminta belajar darinya, belajar dari padi, maka sesungguhnya prestasi hanyalah hiasan semata yang pada akhirnya akan lekang dan tersapu oleh zaman. Namun, attitude yang baik, akan mengantarkan kita pada titik di mana keberadaan kita menjadi semakin dirindukan, dikenang dan bahkan tak lekang oleh zaman.


Pintar saja tidak cukup, ia harus diikuti dengan attitude yang baik. Pandai saja tidak cukup, ia harus disertai dengan akhlak dan budi pekerti luhur. Tak ada guna jabatan dan prestasi yang telah diraih, jika kita belum mampu menempatkan diri di mana dan sebagai apa kita kini. Kita tentu tak bisa mengukur orang lain dengan apa yang telah kita capai dan raih kini. Mereka semua memiliki ciri khas, memiliki kompetensi dan punya kemampuan yang berbeda dengan kita, maka janganlah kemudian kita memaksakan kehendak apalagi menjadikan mereka harus sama dengan kita.


Sebaliknya, biarkan mereka berbeda, berada dalam perbedaan sesuai dengan passion masing-masing, sehingga keragaman itu akan semakin memberikan warna dalam kehidupan kita. Bukankah kita meyakini bahwa ikhtilafu ummati rahmatun. Tabik.